đź“… Diterbitkan pada: 4 Juni 2025
CERPEN
Di sebuah semak-semak, yang tumbuh lebat di tepi sebuah lapangan sepak bola di pinggiran kota, terdapat sepasang kekasih yang baru saja selesai bercinta dengan begitu liar. Mereka Tarmin dan Titin. Dalam keadaan yang masih setengah telanjang, mereka berbaring sembari memandangi langit yang tak berbintang.
“Ah, badanku gatal-gatal,” ujar Titin sembari menggaruk sisi perutnya.
Tarmin tersenyum sinis. “Tak usah manja!” sahutnya.
“Bajingan!”
“Kita ini miskin... harus lebih kuat dari yang lain. Lagi pula...”
“Kamu yang miskin!” tukas Titin, “bapakku punya berpetak-petak sawah di kampung, sementara ibuku seorang kepala sekolah. Lah kamu? Cuma anak sebatang kara yang kerjanya serabutan. Aku cuma terbawa miskin saja sama kamu.”
“Sialan! Kalau begitu, ngapain kamu ada di sini bersamaku?” ujar Tarmin dengan jengkel.
Titin terdiam.
Tarmin menoleh, lalu mendapati wajah Titin yang tampak murung. Ia pun agak menyesali perkataannya. “Kamu lapar?” tanyanya sembari beranjak duduk dan membenarkan ritsleting celananya.
“Ya,” jawab Titin.
Tarmin merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar uang dan menyerahkannya kepada Titin seraya menyuruhnya untuk pergi ke warteg. Tanpa berkata apa-apa, Titin segera mengenakan baju dan celananya yang tampak amburadul, lalu berangkat membeli makanan.
Tarmin kembali merebahkan tubuhnya dan memandangi langit. Sembari memainkan kumis tipisnya, ia teringat pada suatu peristiwa beberapa bulan yang lalu...
***
Dengan mata sembab dan pipi yang basah, Titin terlihat berjalan lesu menghampiri Tarmin yang sudah menunggu di belakang sebuah rumah kosong.
“Bagaimana, Tin?” tanya Tarmin.
Titin cuma menggeleng. Air matanya tumpah, membuat pipinya seketika basah.
Tarmin lantas merangkul Titin. Sembari mengusap-usap pundaknya dengan lembut, ia berucap, “Tidak ada cara lain, Tin.”
“Maksudmu, Mas?”
“Kamu mencintaiku, kan?”
Titin mengangguk, wajahnya tampak memelas.
“Aku berencana untuk pergi ke kota. Rasa-rasanya, uang akan lebih mudah didapatkan di sana. Kamu mau ikut bersamaku?”
“Mau, Mas. Aku mau ikut bersamamu. Bahkan meski kita tinggal di kolong jembatan pun, aku mau. Mungkin hanya dengan cara itu, Bapak akan mengerti arti cinta sejati.”
Sepasang insan yang tengah dimabuk asmara itu pun saling berpelukan, lalu saling melumat bibir dengan begitu syahdu. Setelah itu, mereka pun menyusun rencana untuk kabur dari desa malam nanti. Tarmin akan menanti Titin di gerbang desa, dan mereka akan berangkat sebelum ayam berkokok.
***
Titin datang membuyarkan lamunan Tarmin. Di tangan kanannya, tertenteng sebuah kresek berisi sebungkus nasi warteg, dan seplastik teh tawar. Tarmin membuka bungkus nasi itu. Lalu ia makan dengan lahapnya. Tak seperti Tarmin, Titin tampak tidak berselera makan. Ia sama sekali tak menyentuh nasi, melainkan hanya mencomot lauk berupa tempe orek dan sayur toge itu untuk dimasukkan ke mulut mungilnya.
“Makan yang benar, Tin! Tadi katanya lapar,” ujar Tarmin dengan nasi yang masih memenuhi mulutnya.
Titin diam saja, seolah perkataan Tarmin tak pernah terlontar dari bibirnya yang hitam.
“Coba kamu lihat pohon asem itu, Tin,” kata Tarmin sembari menunjuk ke arah utara. “Kata orang-orang, pohon itu ada penunggunya, sesosok wewe gombel.”
Tarmin sengaja menceritakan itu. Sebab ia tahu, kalau Titin orang yang penakut. Alih-alih bergidik ngeri, Titin diam saja. Ia hanya melirik Tarmin dengan tatapan tajam.
“Tetapi, mitos itu menguntungkan kita. Orang-orang pasti tak berani datang ke sini malam-malam, sehingga kita bisa bebas bercinta di sini sampai menjelang subuh. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, kok di zaman secanggih ini masih ada orang yang percaya begituan.”
Perkataan Tarmin hanya disambut oleh bunyi jangkrik yang bersembunyi.
“Kamu kenapa sih, Tin?” tanya Tarmin setelah melipat kertas nasi yang isinya sudah berpindah ke perutnya.
Titin cuma menggeleng, alih-alih ia tersenyum, dan langsung meraih ritsleting celana Tarmin seraya berusaha membukanya.
“Sehabis makan, memang tiba-tiba berahi suka memuncak, Tin,” ucap Tarmin dengan semringah.
Tarmin tertawa senang tatkala Titin mengulum alat vitalnya dengan penuh gairah.
***
“Kamu tidak beli rokok, ya?”
Titin bergeming.
Karena merasa asam, Tarmin pun pamit diri pergi ke warung untuk membeli rokok, yang disambut dengan anggukan Titin yang tengah sibuk merapikan rambutnya yang berantakan.
Tumben ditinggal sendirian di tempat gelap begini dia tidak rewel, ujar Tarmin di dalam batinnya.
***
Sembari bersiul dan memasukkan kedua tangannya di kantong celana bahannya, Tarmin terus mengayunkan langkah di atas trotoar jalan. Jalanan begitu sepi, tak ada satu pun kendaraan yang lalu-lalang di sana.
Tarmin terkejut bukan main saat ia mendapati sesosok perempuan yang tengah berjalan dari arah yang berlawanan dengannya. Setelah mengucek-ucek matanya, ia pun bergegas menghampiri perempuan itu.
“Lho, Tin, kok kamu ada di sini?” tanya Tarmin.
“Lah, kan kamu yang nyuruh aku beli nasi,” ujar Titin. “Warteg langganan kita tutup, jadi aku harus berjalan ke arah pasar, mencari warteg yang masih buka. Aku juga sekalian beli rokok untukmu tadi, jadinya lama. Kamu sendiri mau ke mana?”
“Sebentar, sebentar, tadi bukannya kamu sudah bawa nasi? Kamu juga tadi kan mengisap... Tin, kamu sedang mengerjaiku, ya?”
“Kamu ini bicara apa sih, Mas?”
Seketika itu juga, Tarmin merasa perutnya begitu mual. Ia pun menepi ke arah selokan, dan memuntahkan isi perutnya. Bukan tempe orek, toge, ataupun nasi yang keluar melalui mulutnya, melainkan beberapa ekor belatung dan cacing yang masih hidup.
Melihat itu, Titin pun bergidik ngeri.
Lalu, Tarmin merasakan alat vitalnya panas dan sangat nyeri. Ia pun lantas membuka celananya, dan mendapati alat vitalnya sudah bengkak sebesar lengan Mike Tyson, serta mengeluarkan nanah dari lubang kecil di ujung kepalanya.
Titin yang seketika merasa mual pun memuntahkan angin bercampur air liur dari mulutnya yang mungil.
Seketika itu juga, terdengar suara cekikikan yang begitu menyeramkan, memecah keheningan malam sunyi.